Sabtu, 07 Februari 2015

Sorotan Tajam Pendidikan




Telah banyak artikel dan pemberitaan yang mengungkap jalan cerita perkembangan pendidikan di Indonesia.


Ini adalah ungkapan isi hati saya dalam sedikit cerita tentang pendidikan di pelosok kota. Waktu itu saya ditugaskan untuk mempublikasikan salah satu acara dalam proker paguyuban bersama satu orang teman di sebuah SMA, sebut saja SMA A. Setelah beberapa saat sampai di tujuan, kami langsung disambut dengan tatapan heran dari siswa-siswi yang berlalu-lalang di dekat parkiran sepeda motor. Mungkin mereka heran ada dua orang asing yang memakai jas alamamater hijau tua yang belum pernah mereka temui. 

Kami berjalan menyusuri lorong dekat lapangan sekolah, dan berpapasan dengan seorang guru yang sangat ramah menyambut kami untuk diberi petunjuk ke arah ruang BK. Lagi-lagi selagi kami berjalan di lorong tersebut, siswa-siswi banyak berbisik dan menatap kami dengan aneh. Sesampainya di ruang BK, kami juga disambut dengan antusias. Tanpa pikir panjang setelah ngobrol santai kami dipersilahkan masuk ke beberapa ruang kelas XII guna publikasi dan pengenalan profil instansi yang kami bawa. 

Masuk di kelas pertama, suasana pengap menyambut. Hanya ada satu kipas angin yang berfungsi dan tambahan angin semilir dari luar ruangan. Awalnya saya berpikir kami akan disambut dengan berbagai pertanyaan yang berbobot dari mereka setelah memperkenalkan instansi kami. Ternyata dugaan saya melenceng jauh, kami disambut dengan pertanyaan aneh dan konyol yang membuat kami gerang. Tidak terjadi pada satu kelas saja, namun pada presentasi di semua kelas kami mendapatkan perlakuan yang sama. Hingga akhirnya kami memilih mengakhiri publikasi di SMA A.

 

Pendidikan di Indonesia memang benar-benar belum merata. Pada kenyataan yang dapat ditemui di lapangan, masih banyak calon mahasiswa yang berpikiran pendek akan kelanjutan hidupnya sendiri. Sekuat apapun para mahasiswa mengecam ataupun mengritik pemerintah akan berakhir sama saja. Jadilah mahasiswa yang suatu saat bisa merebut kekuasaan pemerintah dan ambil kebijakan sebagaimana mestinya yang ada di lapangan.

Kalau bukan kaum mahasiswa, siapa lagi yang akan rela berpikir keras dan mendatangi beberapa sekolah pelosok di negeri ini? 

Perubahan "mindset" harus segera dilakukan, penyebaran pendidikan dan ilmu yang diberikan juga harus setara dengan anak-anak kota. Bukan hanya satu dua anak pelosok yang bisa bertahan di medan persaingan dengan anak-anak kota, namun lebih banyak lagi generasi muda dari pelosok yang tidak hanya bermental atas kehidupan yang kurang tapi juga bermental otak cerdas akan dibutuhkan, dan semua itu harus seimbang jika memang ingin bertahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar