Telah banyak artikel dan
pemberitaan yang mengungkap jalan cerita perkembangan pendidikan di Indonesia.
Ini adalah ungkapan isi hati
saya dalam sedikit cerita tentang pendidikan di pelosok kota. Waktu itu saya
ditugaskan untuk mempublikasikan salah satu acara dalam proker paguyuban
bersama satu orang teman di sebuah SMA, sebut saja SMA A. Setelah beberapa saat
sampai di tujuan, kami langsung disambut dengan tatapan heran dari siswa-siswi
yang berlalu-lalang di dekat parkiran sepeda motor. Mungkin mereka heran ada
dua orang asing yang memakai jas alamamater hijau tua yang belum pernah mereka
temui.
Kami berjalan menyusuri lorong
dekat lapangan sekolah, dan berpapasan dengan seorang guru yang sangat ramah
menyambut kami untuk diberi petunjuk ke arah ruang BK. Lagi-lagi selagi kami
berjalan di lorong tersebut, siswa-siswi banyak berbisik dan menatap kami dengan
aneh. Sesampainya di ruang BK, kami juga disambut dengan antusias. Tanpa pikir
panjang setelah ngobrol santai kami dipersilahkan masuk ke beberapa ruang kelas
XII guna publikasi dan pengenalan profil instansi yang kami bawa.
Masuk di kelas pertama, suasana
pengap menyambut. Hanya ada satu kipas angin yang berfungsi dan tambahan angin
semilir dari luar ruangan. Awalnya saya berpikir kami akan disambut dengan
berbagai pertanyaan yang berbobot dari mereka setelah memperkenalkan instansi
kami. Ternyata dugaan saya melenceng jauh, kami disambut dengan pertanyaan aneh
dan konyol yang membuat kami gerang. Tidak terjadi pada satu kelas saja, namun
pada presentasi di semua kelas kami mendapatkan perlakuan yang sama. Hingga
akhirnya kami memilih mengakhiri publikasi di SMA A.
Pendidikan di Indonesia memang
benar-benar belum merata. Pada kenyataan yang dapat ditemui di lapangan, masih banyak
calon mahasiswa yang berpikiran pendek akan kelanjutan hidupnya sendiri. Sekuat
apapun para mahasiswa mengecam ataupun mengritik pemerintah akan berakhir sama
saja. Jadilah mahasiswa yang suatu saat bisa merebut kekuasaan pemerintah dan
ambil kebijakan sebagaimana mestinya yang ada di lapangan.
Kalau bukan kaum mahasiswa,
siapa lagi yang akan rela berpikir keras dan mendatangi beberapa sekolah
pelosok di negeri ini?
Perubahan "mindset" harus segera dilakukan, penyebaran
pendidikan dan ilmu yang diberikan juga harus setara dengan anak-anak kota.
Bukan hanya satu dua anak pelosok yang bisa bertahan di medan persaingan dengan
anak-anak kota, namun lebih banyak lagi generasi muda dari pelosok yang tidak
hanya bermental atas kehidupan yang kurang tapi juga bermental otak cerdas akan
dibutuhkan, dan semua itu harus seimbang jika memang ingin bertahan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar