Senin, 12 Januari 2015

Peradaban Dinasti Keagamaan di Desa Balun Kota Lamongan



Pluralitas atau keberagaman khususnya dalam beragama bukanlah suatu hal yang asing lagi dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, tidak terkecuali di Desa Balun Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan. Akibat adanya pluralitas dalam beragama tersebut kemungkinan besar dapat menimbulkan berbagai dampak, salah satunya rawannya konflik yang terjadi antar umat beragama di desa setempat. Namun sebaliknya, akan timbul sebuah integrasi sosial di dalam masyarakat bila masing-masing individu saling menumbuhkan rasa toleransi sehingga tercipta kerukunan antar umat beragama di daerah tersebut.
Kondisi itu bisa tergambar dalam atmosfer masyarakat di Desa Balun Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan yang memiliki peradaban yang khas ditinjau dari aspek sosial dan budayanya. Masyarakat di daerah tersebut cenderung semakin berkembang meskipun pluralitas beragama yang ada di sana terlihat sangat menonjol di banding daerah lain di Kabupaten Lamongan. Dengan mengungkap peradaban dan mengetahui asal-usul berkembangnya tiga agama besar yaitu agama Islam, Kristen, dan Hindu di Desa Balun Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan, diharapkan informasi serta kajian yang telah diperoleh mampu berperan dalam mengembangkan rasa toleransi dan kebersamaan antar umat beragama yang sudah semakin berkurang di daerah Lamongan khususnya, dan Indonesia umumnya. 
Pluralitas Desa Balun Simbol Jejak Kabupaten Lamongan


Selama ini Lamongan sering terkenal karena Nasi Boran, Tahu Campur, WBL (Wisata Bahari Lamongan) juga sebagai Kota Adiwiyata. Akan tetapi, dibalik simbol-simbol tersebut Kota Lamongan ternyata memiliki kekhasannya sendiri. Dengan adanya Desa Balun sebagai salah satu percontohan desa pluralitas antar umat beragama di Indonesia, hal ini dapat mengundang wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri. Banyak peneliti tentang kegamaan telah mengadakan penilitiannya di Desa Balun. Dengan mengetahui makna pluralitas sendiri, kita dapat memahami sepenting apakah pluralitas tersebut.
Pluralitas dimaknai dengan keberagaman. Sebagaimana istilah, Kebhinekaan. Yakni Indonesia ini memang sangat plural. Apa yang dimaksud plural? Secara umum Al Qur’an juga menyebut dalam QS Ar Ruum:22
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah penciptaan langit dan bumi dan berlainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”
Kemudian dalam QS Al Hujurat:13
 “Hai manusia, sesungguhNya kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan, lalu menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kalian saling mengenal.”
Ayat-ayat dalam Al Qur’an ini pun menunujukkan bahwa keberagaman suku, bangsa, bahasa, warna kulit adalah hal yang menjadi sunnatullah. Ini yang dikatakan pluralitas. Jadi pluralitas adalah sunnatullah. Sebagaimana di Indonesia ada suku Jawa, Bugis, Sunda, Dayak, Melayu ataupun Madura. Dengan etnis dan bahasa yang berbeda.
            Sangat berbeda antara pluralitas dengan pluralisme. Pluralisme adalah sebuah ide/isme. Ide pluralisme dalam ideologi Kapitalis lahir dari pandangan terhadap masyarakat. Menurut ide pluralisme, dalam masyarakat harus ada dan tidak boleh dibatasi adanya golongan-golongan yang bermacam-macam bahkan yang mempunyai tujuan serta target yang berbeda-beda. Tidak boleh ada pembatasan atau koridor mengenai hal ini. Dalam masyarakat yang menganut pluralisme, berbagai kelompok sah-sah saja lahir. Baik kelompok yang menyerukan kebaikan (Islam) sampai kelompok yang menyerukan kesesatan. Jadi kelompok-kelompok aliran sesat pun harus dibela haknya. Sebab menurut ide pluralisme, mereka boleh saja dan berhak ada.
Maka orang-orang yang menganut faham pluralisme, sangat membela keberadaan kelompok aliran-aliran sesat. Siapapun berhak berpendapat. Bahkan jika ada golongan yang menyeru kepada kesesatan atau kemaksiatan, misalnya kelompok pendukung perzinahan atau kelompok pembela perjudian. Maka kelompok tersebut harus dibela dalam faham pluralisme. Ini sangat berbahaya. Wajar jika pluralisme ini pernah difatwa sesat oleh MUI.
Belajar Saling Menundukkan Kepala
Layaknya orang Jepang yang selalu menundukkan kepala ketika bertemu dengan orang yang lebih tua dalam acara formal maupun non-formal. Setidaknya kita sebagai bangsa yang plural dalam aspek keagamaan dapat melakukan hal tersebut. Bukan berarti secara langsung kita harus menundukkan kepala, akan tetapi hal ini berkaitan dengan menjaga toleransi dan sopan santun antar umat beragama yang terkadang belum tercipta sempurna.
Pembelajaran tentang memaknai kata toleransi antar umat beragama dapat secara langsung dipelajari dari sebuah desa yang terletak di Kota Lamongan. Desa yang memiliki batas wilayah di sebelah Utara : Desa Ngujungrejo, Timur  : Desa Gedongboyo Untung, Selatan : Kelurahan Sukorejo ( Kecamatan Lamongan Kota ) dan Barat : Desa Tambak Ploso ini memiliki keunikan tersendiri.
Siapa warga Lamongan yang tidak mengenal Desa Balun Kecamatan Turi tersebut? Desa pluralitas yang telah menjadi aset penting bagi Kota Lamongan tersebut juga menjadi tempat kunjungan utama para peneliti tentang pluralitas keagamaan.
Keunikannya sudah terasa ketika memasuki gerbang Desa Balun dekat kantor kades setempat, kita sebagai pengunjung langsung disuguhi tiga tempat ibadah berbeda, yakni pura (Hindu), masjid (Islam) dan gereja (Kristen). Jarak antar ketiga tempat ibadah tersebut tidaklah jauh, hanya terpisah beberapa meter saja dari lapangan Desa Balun. Sehingga dapat disimpulkan betapa rukunnya warga Desa Balun dalam dunia pluralitas yang sering dianggap bisa memecah persatuan tersebut.
Persatuan Tiga Agama di Satu Muara
Berdasarkan informasi yang didapat langsung dari tokoh tiap-tiap agama di Desa Balun, masyarakat Desa Balun Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan yang lahir sebelum  tahun 1965 masih memungkinkan untuk mengetahui riwayat munculnya 3 agama di desa mereka. Sedangkan masyarakat Desa Balun Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan kelahiran tahun 1970 – sekarang tidak mengetahui secara jelas mengenai timbulnya pluralitas agama tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sutrisno selaku tokoh agama Kristen Protestan di Desa Balun, ketiga agama tersebut masuk secara alami, yaitu karena pengaruh G 30 S/PKI yang menyebabkan suasana Desa Balun mencekam sekitar tahun 1965. Kemudian datanglah prajurit Angkatan Darat bernama Pak Bathi yang mencoba untuk menetralkan suasana Desa Balun dan akhirnya berhasil. Berkat usahanya tersebut, Pak Bathi diangkat menjadi kepala desa Balun pada masa itu setelah melalui tahap pemilihan. Pak Bathi adalah seseorang pemeluk agama Kristen Protestan sehingga secara tidak langsung sebagian warga di Desa Balun mengikuti agama yang dianutnya tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Kepala Desa Balun Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan, pada tahun 1969 agama Hindu mulai masuk. Pada saat itu Pak Bathi sebagai Kepala Desa menyuruh warga yang menganut Aliran Budha Wisnu di Desa Balun untuk mencari induk agamanya sehingga muncullah agama Hindu di Desa Balun. Setelah itu, Pak Bathi memberikan kebebasan kepada semua warganya untuk bebas menganut agama yang diyakini masing-masing dengan syarat bahwa agama tersebut telah disahkan dan diakui oleh pemerintah.
Peradaban Dinasti Keagamaan di Desa Balun Kota Lamongan
Dalam berbagai kegiatan pemerintahan desa, Forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbang), Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), penyusunan APBDes dan sebagainya, pihak pemerintah Desa turut mengundang partisipasi warga, khususnya wakil-wakil tokoh agama untuk terlibat didalamnya. Bahkan dalam APBDes, terdapat sejumlah anggaran untuk pemberian insentif bagi tokoh agama di samping anggaran untuk pembangunan desa.
Pemberian intensif ini sebagai bentuk kepedulian atas jasa tokoh agama dalam meningkatkan toleransi antar penganut agama. Perhatian terhadap Karang Taruna juga dinilai sangat penting mengingat pemuda dapat menjadi potensi terjadinya konflik. Di Balun sendiri sekitar tahun 2001 hingga 2003 pernah terjadi konflik antar RT (Rukun Tetangga) namun konflik tersebut tidak dinilai sebagai konflik antar agama.
Perkembangan Desa Balun bisa terbilang cukup pesat, terutama pada aspek sosial budaya. Hal ini dibuktikan dengan adanya kesepakatan yang di deklarasikan pada tanggal 17 Juni 1998 antar warga di Desa Balun. Kesepakatan ini bertujuan agar seluruh warga Desa Balun mampu menjaga dan mengembangkan kerukunan serta toleransi antar umat beragama.
Hal tersebut berlangsung hingga saat ini dan menyebabkan Desa Balun menjadi salah satu tempat studi banding yang dikunjungi oleh berbagai lembaga maupun institusi dari dalam maupun luar negeri. Mereka ingin membuktikan mengenai pluralitas dan kerukunan beragama yang tengah berkembang di wilayah ini.


 created by : Arifatus Hikmah R (essai)
                      Dewi Mustika R dan Prasetyo Umar F (Karya Tulis Ilmiah Islam)

DaftarPustaka
Maman, U, dkk. 2006. Metodologi Penelitian Agama: teori dan praktik. Jakarta:    Rajawali Pers.
Abdurrahman, Moeslim. 2003. Islam Pribumi. Jakarta: Erlangga.
Baidhawy, Zakiyuddin. 2005. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta: Erlangga.
Djuroto, Totok & Bambang Suprijadi. 2002. Menulis Artikel & Karya Ilmiah. Bandung: PT RemajaRosdakarya.
Dzikri ,Burhanuddin Dzikri.  2007. Memahami Hubungan antar Agama. Yogyakarta: eLSAQ Press.
Abdurrahman, Moeslim. 2003. Islam Sebagai Kritik Sosial. Jakarta: Erlangga.
Husaini, Adian. 2005. Wajah Peradaban Barat: dari hegemoni Kristen kedominasi sekular-liberal. Jakarta: Gema Insani Press. 
Harahap, Syahrin. 2011. Teologi Kerukunan. Jakarta: Prenada.
Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Lamongan. 2012.  Lamongan Memayu Raharjaning Praja Pemerintah Kabupaten Tingkat II Lamongan 1994.
      SumberdariWebsite:
Kompas.com. Senin, 22 Agustus 2011. Toleransi dari Kampung Pancasila. AdiSucipto K.
DetikForum, Politik & Peristiwa, Politik. Perbedaan Pluralitas & Pluralisme. 20 Juni 2010. Kekasih 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar