Pluralitas atau keberagaman
khususnya dalam beragama bukanlah suatu hal yang asing lagi dalam kehidupan
masyarakat di Indonesia, tidak terkecuali di Desa Balun Kecamatan Turi
Kabupaten Lamongan. Akibat adanya pluralitas dalam beragama
tersebut kemungkinan besar dapat menimbulkan berbagai dampak, salah satunya
rawannya konflik yang terjadi antar umat beragama di desa setempat. Namun
sebaliknya, akan timbul sebuah integrasi sosial di dalam masyarakat bila
masing-masing individu saling menumbuhkan rasa toleransi sehingga tercipta
kerukunan antar umat beragama di daerah tersebut.
Kondisi itu bisa tergambar dalam
atmosfer masyarakat di Desa Balun Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan yang
memiliki peradaban yang khas ditinjau dari aspek sosial dan budayanya.
Masyarakat di daerah tersebut cenderung semakin berkembang meskipun pluralitas
beragama yang ada di sana terlihat sangat menonjol di banding daerah lain di
Kabupaten Lamongan. Dengan mengungkap peradaban dan mengetahui asal-usul
berkembangnya tiga agama besar yaitu agama Islam, Kristen, dan Hindu di Desa
Balun Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan, diharapkan informasi serta kajian yang
telah diperoleh mampu berperan dalam mengembangkan rasa toleransi dan kebersamaan
antar umat beragama yang sudah semakin berkurang di daerah Lamongan khususnya,
dan Indonesia umumnya.
Pluralitas Desa
Balun Simbol Jejak Kabupaten Lamongan
Selama ini Lamongan sering
terkenal karena Nasi Boran, Tahu Campur, WBL (Wisata Bahari Lamongan) juga
sebagai Kota Adiwiyata. Akan tetapi, dibalik simbol-simbol tersebut Kota
Lamongan ternyata memiliki kekhasannya sendiri. Dengan adanya Desa Balun
sebagai salah satu percontohan desa pluralitas antar umat beragama di
Indonesia, hal ini dapat mengundang wisatawan baik dari dalam maupun luar
negeri. Banyak peneliti tentang kegamaan telah mengadakan penilitiannya di Desa
Balun. Dengan mengetahui makna pluralitas sendiri, kita dapat memahami
sepenting apakah pluralitas tersebut.
Pluralitas dimaknai dengan
keberagaman. Sebagaimana istilah, Kebhinekaan. Yakni Indonesia ini memang
sangat plural. Apa yang dimaksud plural? Secara umum Al Qur’an juga menyebut
dalam QS Ar Ruum:22
وَمِنْ
آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ
ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah penciptaan langit dan bumi dan
berlainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”
Kemudian dalam QS Al Hujurat:13
“Hai manusia, sesungguhNya kami telah
menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan, lalu menjadikan kalian
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar
kalian saling mengenal.”
Ayat-ayat dalam Al Qur’an ini pun
menunujukkan bahwa keberagaman suku, bangsa, bahasa, warna kulit adalah hal
yang menjadi sunnatullah. Ini yang
dikatakan pluralitas. Jadi pluralitas adalah sunnatullah. Sebagaimana di Indonesia ada suku Jawa, Bugis, Sunda,
Dayak, Melayu ataupun Madura. Dengan etnis dan bahasa yang berbeda.
Sangat berbeda antara pluralitas
dengan pluralisme. Pluralisme adalah sebuah ide/isme. Ide pluralisme dalam
ideologi Kapitalis lahir dari pandangan terhadap masyarakat. Menurut ide
pluralisme, dalam masyarakat harus ada dan tidak boleh dibatasi adanya
golongan-golongan yang bermacam-macam bahkan yang mempunyai tujuan serta target
yang berbeda-beda. Tidak boleh ada pembatasan atau koridor mengenai hal ini.
Dalam masyarakat yang menganut pluralisme, berbagai kelompok sah-sah saja
lahir. Baik kelompok yang menyerukan kebaikan (Islam) sampai kelompok yang
menyerukan kesesatan. Jadi kelompok-kelompok aliran sesat pun harus dibela
haknya. Sebab menurut ide pluralisme, mereka boleh saja dan berhak ada.
Maka orang-orang yang menganut
faham pluralisme, sangat membela keberadaan kelompok aliran-aliran sesat.
Siapapun berhak berpendapat. Bahkan jika ada golongan yang menyeru kepada
kesesatan atau kemaksiatan, misalnya kelompok pendukung perzinahan atau
kelompok pembela perjudian. Maka kelompok tersebut harus dibela dalam faham
pluralisme. Ini sangat berbahaya. Wajar jika pluralisme ini pernah difatwa
sesat oleh MUI.
Belajar Saling
Menundukkan Kepala
Layaknya orang Jepang yang selalu
menundukkan kepala ketika bertemu dengan orang yang lebih tua dalam acara
formal maupun non-formal. Setidaknya kita sebagai bangsa yang plural dalam
aspek keagamaan dapat melakukan hal tersebut. Bukan berarti secara langsung
kita harus menundukkan kepala, akan tetapi hal ini berkaitan dengan menjaga
toleransi dan sopan santun antar umat beragama yang terkadang belum tercipta
sempurna.
Pembelajaran tentang memaknai
kata toleransi antar umat beragama dapat secara langsung dipelajari dari sebuah
desa yang terletak di Kota Lamongan. Desa yang memiliki batas wilayah di
sebelah Utara : Desa Ngujungrejo, Timur
: Desa Gedongboyo Untung, Selatan : Kelurahan Sukorejo ( Kecamatan
Lamongan Kota ) dan Barat : Desa Tambak Ploso ini memiliki keunikan tersendiri.
Siapa warga Lamongan yang tidak
mengenal Desa Balun Kecamatan Turi tersebut? Desa pluralitas yang telah menjadi
aset penting bagi Kota Lamongan tersebut juga menjadi tempat kunjungan utama para
peneliti tentang pluralitas keagamaan.
Keunikannya sudah terasa ketika
memasuki gerbang Desa Balun dekat kantor kades setempat, kita sebagai
pengunjung langsung disuguhi tiga tempat ibadah berbeda, yakni pura (Hindu),
masjid (Islam) dan gereja (Kristen). Jarak antar ketiga tempat ibadah tersebut
tidaklah jauh, hanya terpisah beberapa meter saja dari lapangan Desa Balun.
Sehingga dapat disimpulkan betapa rukunnya warga Desa Balun dalam dunia
pluralitas yang sering dianggap bisa memecah persatuan tersebut.
Persatuan Tiga
Agama di Satu Muara
Berdasarkan informasi yang didapat langsung dari tokoh tiap-tiap agama
di Desa Balun, masyarakat Desa Balun Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan yang
lahir sebelum tahun 1965 masih
memungkinkan untuk mengetahui riwayat munculnya 3 agama di desa mereka.
Sedangkan masyarakat Desa Balun Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan kelahiran
tahun 1970 – sekarang tidak mengetahui secara jelas mengenai timbulnya
pluralitas agama tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sutrisno selaku tokoh agama
Kristen Protestan di Desa Balun, ketiga agama tersebut masuk secara alami, yaitu
karena pengaruh G 30 S/PKI yang menyebabkan suasana Desa Balun mencekam sekitar
tahun 1965. Kemudian datanglah prajurit Angkatan Darat bernama Pak Bathi yang
mencoba untuk menetralkan suasana Desa Balun dan akhirnya berhasil. Berkat
usahanya tersebut, Pak Bathi diangkat menjadi kepala desa Balun pada masa itu
setelah melalui tahap pemilihan. Pak Bathi adalah seseorang pemeluk agama
Kristen Protestan sehingga secara tidak langsung sebagian warga di Desa Balun
mengikuti agama yang dianutnya tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Kepala Desa Balun Kecamatan
Turi Kabupaten Lamongan, pada tahun 1969 agama Hindu mulai masuk. Pada saat itu
Pak Bathi sebagai Kepala Desa menyuruh warga yang menganut Aliran Budha Wisnu
di Desa Balun untuk mencari induk agamanya sehingga muncullah agama Hindu di
Desa Balun. Setelah itu, Pak Bathi memberikan kebebasan kepada semua warganya
untuk bebas menganut agama yang diyakini masing-masing dengan syarat bahwa
agama tersebut telah disahkan dan diakui oleh pemerintah.
Peradaban Dinasti Keagamaan di Desa Balun Kota
Lamongan
Dalam berbagai
kegiatan pemerintahan desa, Forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa
(Musrenbang), Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes),
penyusunan APBDes dan sebagainya, pihak pemerintah Desa turut mengundang
partisipasi warga, khususnya wakil-wakil tokoh agama untuk terlibat didalamnya.
Bahkan dalam APBDes, terdapat sejumlah anggaran untuk pemberian insentif bagi
tokoh agama di samping anggaran untuk pembangunan desa.
Pemberian
intensif ini sebagai bentuk kepedulian atas jasa tokoh agama dalam meningkatkan
toleransi antar penganut agama. Perhatian terhadap Karang Taruna juga dinilai
sangat penting mengingat pemuda dapat menjadi potensi terjadinya konflik. Di
Balun sendiri sekitar tahun 2001 hingga 2003 pernah terjadi konflik antar RT
(Rukun Tetangga) namun konflik tersebut tidak dinilai sebagai konflik antar
agama.
Perkembangan Desa Balun bisa terbilang cukup pesat, terutama pada
aspek sosial budaya. Hal ini dibuktikan dengan adanya kesepakatan yang di
deklarasikan pada tanggal 17 Juni 1998 antar warga di Desa Balun. Kesepakatan
ini bertujuan agar seluruh warga Desa Balun mampu menjaga dan mengembangkan
kerukunan serta toleransi antar umat beragama.
Hal tersebut berlangsung hingga saat ini dan menyebabkan Desa Balun
menjadi salah satu tempat studi banding yang dikunjungi oleh berbagai lembaga
maupun institusi dari dalam maupun luar negeri. Mereka ingin membuktikan
mengenai pluralitas dan kerukunan beragama yang tengah
berkembang di wilayah ini.
created by : Arifatus Hikmah R (essai)
Dewi Mustika R dan Prasetyo Umar F (Karya Tulis Ilmiah Islam)
DaftarPustaka
Maman, U, dkk. 2006. Metodologi Penelitian Agama: teori dan praktik. Jakarta: Rajawali Pers.
Abdurrahman, Moeslim. 2003. Islam Pribumi. Jakarta: Erlangga.
Baidhawy, Zakiyuddin. 2005. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta: Erlangga.
Djuroto,
Totok & Bambang Suprijadi. 2002. Menulis
Artikel & Karya Ilmiah. Bandung: PT RemajaRosdakarya.
Abdurrahman,
Moeslim. 2003. Islam Sebagai Kritik
Sosial. Jakarta: Erlangga.
Husaini,
Adian. 2005. Wajah
Peradaban Barat: dari hegemoni Kristen kedominasi sekular-liberal. Jakarta: Gema Insani Press.
Harahap,
Syahrin. 2011. Teologi Kerukunan. Jakarta:
Prenada.
Badan
Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Lamongan. 2012. Lamongan
Memayu Raharjaning Praja Pemerintah Kabupaten Tingkat II Lamongan 1994.
SumberdariWebsite:
Kompas.com.
Senin, 22 Agustus 2011. Toleransi dari Kampung Pancasila. AdiSucipto K.
DetikForum, Politik & Peristiwa, Politik. Perbedaan Pluralitas
& Pluralisme. 20 Juni 2010. Kekasih 2010.




Tidak ada komentar:
Posting Komentar